RSS

12 Alasan Mengapa Bercinta Sebelum Menikah

"Perhatian! Yang dimaksud dengan “bercinta” di sini bukanlah berhubungan seksual, melainkan membina hubungan percintaan"

kebebasan-wanita-jilid-5.jpg

Dalam buku Kebebasan Wanita Jilid 5 (Gema Insani Press, 1999), Abdul Halim Abu Syuqqah (seorang ulama Ikhwanul Muslimin, sahabat Yusuf Qardhawi) membolehkan dan bahkan menyarankan bercinta sebelum khitbah (peminangan). Alasannya antara lain:

  1. Fenomena hubungan percintaan prakhitbah telah ada pada zaman Nabi Muhammad saw. (hlm. 72-80)
  2. Rasulullah saw. “menampakkan belas kasihnya kepada kedua orang yang sedang dilanda [saling] cinta”. (hlm. 75)
  3. Bila cinta didiamkan (tidak dibina), “maka dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam hal-hal yang terlarang.” (hlm. 73)
  4. Rasa rindu dan cinta kepada lawan-jenis nonmuhrim di luar nikah tidak berdosa (tidak tergolong “zina hati”) dan bukan sesuatu yang kotor. (hlm. 74-77)
  5. Cinta kepada lawan-jenis bersifat “manusiawi, yang bersumber dari asal fitrah [suci] yang diciptakan Allah di dalam jiwa manusia”. (hlm. 75)
  6. Cinta yang suci tersebut “mengandung segala makna kasih-sayang, keharmonisan, penghargaan, dan kerinduan, di samping mengandung persiapan-persiapan untuk menempuh kehidupan di kala suka dan duka, lapang dan sempit.” (hlm. 75)
  7. Cinta yang suci tersebut “tidak mungkin terjadi dengan sempurna antara dua orang manusia yang berakal sehat, kecuali setelah terjadi perhubungan yang mendalam dan pengalaman yang panjang, yang memungkinkan kedua belah pihak untuk saling mengenal dan mengetahui unsur-unsur yang dapat menegakkan cinta ini dan menumbuhkembangkannya.” (hlm. 75)
  8. Kalau tidak melalui “perhubungan yang mendalam dan pengalaman yang panjang” begitu, maka [taaruf] yang terjadi hanyalah “ketertarikan belaka terhadap unsur-unsur lahiriah yang tampak memukau.” (hlm. 75)
  9. Pertemuan tatap-muka dengan si dia “merupakan langkah awal, yang sesudah itu dilanjutkan dengan langkah-langkah [PDKT atau pendekatan] berikutnya dan semakin maju hingga mencapai puncak [di titik nikah] atau kembali lagi [ke persahabatan biasa]” (hlm. 75-76)
  10. Islam tidak mengingkari cinta yang indah, tetapi justru “menghendaki yang seindah-indahnya”. Islam menghendaki agar cinta itu “dijaga, dirawat, dan dilindungi” dengan harapan berujung pada titik nikah. (hlm. 76)
  11. Islam “tidak datang untuk membelenggu perasaan manusia, melainkan untuk membersihkannya dan mengarahkannya ke arah kebaikan, agar dengannya seseorang memperoleh kebahagiaan dan dapat membahagiakan orang sekitarnya, bukan untuk menyengsarakannya dan menyengsarakan orang sekitarnya.” (hlm. 76)
  12. Jalan menuju pernikahan (dari perkenalan hingga akad nikah) yang bisa panjang atau pun pendek tidaklah berbahaya “jika jalan itu dipenuhi dengan perasaan cinta dan diselingi dengan perkataan-perkataan manis [mesra] yang makruf, atau ditandai dengan tanda-tanda yang manis [mesra] dan makruf, seperti mengadakan tukar pikiran dan bantuan untuk mempersiapkan rumah tangga yang bahagia.” Cinta di jalan tersebut hendaknya “menjadi perasaan yang hangat, kegembiraan yang menyenangkan, dan cita-cita yang besar”. (hlm. 77)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS